AS Laksana: Menjadi Rendra di Pematang-Pematang Sawah

AS LAKSANA: MENJADI RENDRA DI PEMATANG-PEMATAN SAWAH

TEROPONG-MEDIA.COM | KISAH - Masa SMA adalah periode yang sangat berkesan bagi saya. Saat itu, untuk pertama kalinya saya mengenakan celana panjang ke sekolah. Rasa percaya diri tumbuh pesat, seakan-akan saya telah resmi memasuki dunia orang dewasa. Kehidupan mulai terasa berbeda, seperti ada misi besar yang harus saya jalani.

Pada masa itu, saya selalu membawa buku puisi "Potret Pembangunan dalam Puisi" karya Rendra ke mana pun saya pergi, seperti orang yang saleh selalu membawa kitab suci. Buku ini menjadi pendamping setia di tas sekolah saya. Selain itu, saya juga sering membawa "Ki Blakasuta Bla Bla", kumpulan puisi Darmanto Jatman. Puisi-puisi Darmanto begitu akrab di telinga saya karena banyak menggunakan bahasa Jawa. Bahkan ada puisi yang judulnya berbahasa Italia, "Vino il Papatore Ristorante", namun isinya tetap menggambarkan suasana hati orang Jawa yang kental.

Di antara kedua buku itu, Rendra dengan cepat menjadi sosok idola bagi saya. Saya tempel poster besar Rendra di kamar, tepat di atas meja belajar. Dalam gambar itu, ia tampak gagah dengan kemeja biru dan celana jins, meskipun rambutnya sudah tidak panjang seperti dahulu. Aura radikalnya masih sangat terasa, dan ia seolah mengawasi saya setiap kali saya duduk belajar.

Puisi-puisi Rendra yang lantang dan tajam tentang pendidikan serta pembangunan begitu cocok dengan jiwa pemberontak saya. Setiap kata dalam puisinya membakar semangat perlawanan di dalam diri saya. Hampir setiap malam, saya membaca puisi-puisinya dengan suara lantang, merekam suara saya sendiri ke kaset, dan sering kali terkejut mendengar hasilnya. Keesokan harinya, saya berangkat ke sekolah dengan kepala dipenuhi pikiran-pikiran kritis terhadap sistem pendidikan. Saya merasa berbeda dari teman-teman lain yang menjalani rutinitas sekolah seolah-olah tanpa sadar akan ketidakadilan yang ada. Saya yakin diri saya adalah bagian dari sekelompok kecil yang "tahu lebih banyak"—mereka yang paham bahwa pendidikan bukanlah sekadar menimba ilmu, tetapi sering kali menjadi alat pengasingan, seperti yang Rendra kritisi dalam puisinya:

"Apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?"

Bait itu terngiang terus dalam benak saya. Saya merasa sejalan dengan pandangan tersebut; pendidikan seharusnya tidak membuat kita tercerabut dari kenyataan hidup. Dengan buku Rendra di tangan, saya menjalani tahun pertama SMA dengan semangat seolah-olah saya adalah bagian dari revolusi intelektual yang bergerak di bawah permukaan.

Namun, suatu hari semangat pemberontakan saya meluap keluar dalam kehidupan nyata. Di rumah, saya tinggal bersama beberapa anggota keluarga dewasa, termasuk paman, bibi, dan nenek. Suatu hari, terjadi peristiwa kecil yang membuat saya merasa tersinggung—sepele memang, tapi saya merasa diperlakukan seperti anak kecil. Ini momen yang saya anggap tepat untuk bertindak.

Penuh emosi, saya memutuskan untuk pergi dari rumah. Saya mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer menuju rumah kakek di Cepiring. Di punggung saya, terselip "Potret Pembangunan dalam Puisi", seolah saya adalah pahlawan dalam film perjuangan. Di perjalanan, saya beberapa kali berhenti di pematang sawah untuk membacakan puisi Rendra. Saya membayangkan diri saya sebagai Rendra yang menyuarakan protes atas ketidakadilan di hadapan para petani yang terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan. Dalam pikiran saya, puisi-puisi itu akan membuka mata mereka terhadap penindasan yang mereka alami.

Namun, ketika senja tiba dan saya sampai di rumah kakek, semangat perlawanan saya mulai memudar. Kakek, seorang pria tua yang rajin mengaji, menyambut saya dengan tenang dan bertanya, "Ada keperluan apa?" Saya tiba-tiba merasa kehilangan kata-kata untuk menjelaskan bahwa saya minggat dari rumah karena protes. Akhirnya, saya hanya menjawab singkat, "Bersepeda saja, Mbah."

Dua hari saya menginap di rumah kakek, dan pada hari Senin, saya memutuskan bolos sekolah. Tapi, pada hari ketiga, kebosanan mulai merayap. Tidak ada hal menarik yang bisa saya lakukan di sana, dan semangat pemberontakan saya memudar sepenuhnya. Pada Senin pagi, saya akhirnya mengayuh sepeda kembali ke Semarang. Kali ini, saya tidak lagi berhenti di pematang sawah untuk membacakan puisi. Saya tiba di rumah siang hari, dan mengejutkannya, tidak ada seorang pun yang bertanya ke mana saya selama dua hari terakhir. Semuanya berjalan normal, seolah-olah saya tidak pernah pergi.

Misi besar saya untuk membuat keluarga saya menyesal karena telah menyakiti hati saya ternyata gagal total. Tidak ada perubahan, dan protes besar-besaran yang saya bayangkan hanya membuat saya terlihat konyol. Malam itu, saya hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan perasaan malu yang menyelimuti diri.

Meski begitu, saya masih terus membawa buku puisi Rendra ke mana-mana. Namun kali ini, saya melakukannya dengan sedikit pemahaman baru: Ada perbedaan yang sangat besar antara melawan sistem melalui puisi dan melawan orang-orang di dunia nyata.[]

Sumber: AS Laksana

Editor: Hendra, S

- Teropong Media, Melihat Informasi Lebih Jelas -

Posting Komentar untuk "AS Laksana: Menjadi Rendra di Pematang-Pematang Sawah"