Karya Terakhir Faisal Basri dan Kisah Hidupnya

KARYA TERAKHIR FAISAL BASRI DAN KISAH HIDUPNYA

TEROPONG-MEDIA.COM | TOKOH - Faisal Basri menulis karya terakhirnya, sebuah puisi berjudul "Rumah Indonesia, Rumah Kita". Ia pertama kali menuliskannya pada 9 Desember 2023, kemudian memperbaruinya pada 18 Agustus 2024 dan membagikannya di blog pribadinya, sebagai penghormatan atas hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

Puisi tersebut menjadi wadah bagi Faisal untuk mengekspresikan kekhawatirannya tentang kondisi Indonesia. Meskipun mungkin tak dianggap puisi dalam arti konvensional, baginya ini adalah bentuk yang tepat untuk menyampaikan perasaannya yang mendalam. Dalam pandangannya, Indonesia adalah rumah bersama yang tengah dirusak oleh kekuatan-kekuatan yang tak terlihat, seperti yang ia sebut, "Mereka terus menggerogoti setiap sudut rumah kita."

Puisi ini bisa dikatakan sebagai salam terakhir Faisal Basri. Selama bertahun-tahun, ia telah menyampaikan segala pemikirannya sebagai seorang ekonom dan aktivis politik. Meskipun ia selalu berusaha memberikan argumen rasional yang didukung oleh data, tampaknya hal itu tidak cukup untuk mendorong perubahan yang ia dambakan.

Kisah Hidup Faisal: Dari Kesederhanaan Hingga Pengabdian

Faisal Basri lahir dari keluarga sederhana. Masa kecilnya dihabiskan dalam rumah yang hanya diterangi lampu minyak, sementara orang tuanya bekerja keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah lulus SMA, ia diterima di beberapa perguruan tinggi, termasuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Akademi Ilmu Statistik, namun ia memilih Fakultas Ekonomi. Alasannya sederhana: ia ingin memahami ekonomi demi membantu masyarakat kecil.

Namun, cobaan datang begitu cepat. Adik dan ayahnya meninggal dalam waktu berdekatan, membuat kehidupan keluarganya semakin sulit. Faisal merasa tidak bisa terus bergantung pada ibunya, sehingga ia memutuskan untuk mandiri dan mencari nafkah sendiri guna menyelesaikan kuliah.

Perjalanan akademisnya diwarnai dengan berbagai kebetulan yang kemudian mengarahkan hidupnya. Salah satu kebetulan besar adalah eksodus besar-besaran staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) akibat ketidakcocokan politik. Ini membuka peluang bagi Faisal untuk bergabung dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada tahun ketiga kuliahnya, yang menjadi awal mula kecintaannya terhadap riset dan data.

Kemudian, ia mulai mengajar sebagai dosen pengganti. Ia mengenang saat pertama kali mengajar dengan penuh kecemasan, sampai merasa "perut mulas" karena grogi menghadapi mahasiswa. Namun, kebetulan lainnya datang ketika ia diangkat menjadi direktur LPEM di usia 32 tahun, sebuah tugas yang berat baginya karena harus memimpin profesor dan doktor yang lebih senior. Ia hanya memiliki satu keunggulan—jam terbang risetnya yang lebih banyak dari kolega-koleganya.

Aktivisme dan Keterlibatan Politik

Setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, Faisal melihat peluang besar untuk memperbaiki sistem tata kelola negara. Namun, ia sadar bahwa perubahan tidak bisa hanya dilakukan dari luar, melalui aksi jalanan semata. Maka, ia terlibat dalam pembentukan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan harapan bisa mendorong kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat.

Namun, harapan itu tak sepenuhnya terpenuhi. Pada 2001, Faisal memutuskan untuk mundur dari PAN, kecewa dengan arah partai yang menurutnya semakin menjauh dari visi awal. Salah satu gagasan yang ia tawarkan, federalisme, dianggap terlalu kontroversial oleh partai dan dihapus dari platform PAN. Ia juga merasa bahwa partai tersebut kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi partai yang inklusif dan modern.

Kekecewaan Terhadap Reformasi

Faisal Basri selalu optimis bahwa reformasi 1998 akan membawa perubahan sistem politik dan ekonomi yang lebih adil. Namun, setelah bertahun-tahun, ia menyadari bahwa reformasi hanya berhasil menurunkan Soeharto, tetapi tidak sepenuhnya mengubah rezim yang dibangun oleh Orde Baru. Menurutnya, kegagalan terbesar reformasi adalah tidak adanya sanksi terhadap Golkar, partai yang selama bertahun-tahun menjadi alat kekuasaan Soeharto.

Ia melihat Golkar sebagai simbol dari segala ketidakadilan ekonomi dan politik yang masih berlangsung hingga saat ini. Meskipun Indonesia sudah menerapkan sistem demokrasi elektoral, oligarki tetap bertahan dan terus mengendalikan sumber daya ekonomi. Menurutnya, meskipun nama-nama baru muncul, seperti Surya Paloh, SBY, dan Prabowo Subianto, semua masih menggunakan cara-cara lama Golkar untuk menjaga kekuasaan mereka.

Terus Berjuang Hingga Akhir Hayat

Di tengah kekecewaannya terhadap kondisi politik Indonesia, Faisal Basri tidak pernah menyerah. Hanya beberapa hari sebelum ia meninggal pada 5 September 2024, ia masih mengunjungi Medan, menikmati durian di Dairi, dan berbicara kepada teman-temannya tentang rencananya untuk kembali ke Medan guna menyampaikan data-data tentang kebobrokan ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi kepada para mahasiswa.

Ia tidak sempat melanjutkan perjuangannya, namun pesan terakhir dalam puisinya tetap menggema. Kalimat terakhir di puisinya, yang berbunyi, "Saatnya kejujuran yang memimpin bangsa ini," disusun dalam bait-bait yang penuh emosi, seolah Faisal mencoba menyerukan perlawanan terakhirnya terhadap kebobrokan yang ia saksikan di negerinya.

Faisal Basri pergi, namun semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran tidak akan pernah padam.[]

Sumber: AS Laksana

Editor: Hendra, S

- Teropong Media, Melihat Informasi Lebih Jelas -

Posting Komentar untuk "Karya Terakhir Faisal Basri dan Kisah Hidupnya"