TANTANGAN REKRUTMEN DI TENGAH MARAKNYA PHK; SULIT MENCARI KANDIDAT BERKUALITAS
TEROPONG-MEDIA.COM | DUNIA KERJA - Dalam situasi ekonomi yang tak menentu, terjadi
peningkatan jumlah pencari kerja akibat banyaknya pemutusan hubungan
kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Fenomena ini seharusnya
memudahkan pencarian kandidat bagi perusahaan, terutama dengan banyaknya
pelamar dan terbatasnya lowongan kerja yang tersedia. Namun, realita di
lapangan justru memperlihatkan sebaliknya. Sebuah tulisan yang diunggah
oleh Dearisa Heditama, seorang Talent Acquisition Officer, melalui akun
LinkedIn pada, kamis (24/10/24), mencerminkan betapa menantangnya proses
pencarian talenta berkualitas di tengah dinamika pasar kerja saat ini.
Tantangan Mencari Kandidat yang Sesuai di Tengah Banyaknya Pelamar
Dalam
unggahannya, Dearisa Heditama menyebutkan, “Layoff/PHK makin banyak,
jobseeker makin banyak, loker makin sedikit. Hitung-hitungan kasarnya,
harusnya HR lebih gampang cari kandidat.” Menurut Dearisa, secara teori,
peningkatan jumlah pelamar kerja seharusnya memudahkan proses seleksi
dan pencarian kandidat yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Akan
tetapi, ia menambahkan, “Di tahun ini, rasanya mencari kandidat yang
sesuai lebih sulit daripada tahun-tahun sebelumnya.” Bahkan, untuk
posisi-posisi umum atau “pasaran,” yang biasanya banyak diminati, saat
ini HR kesulitan menemukan kandidat yang memenuhi kualifikasi.
Pernyataan
ini menggarisbawahi masalah kualitas di antara para pelamar yang
semakin banyak tetapi tidak selalu memenuhi kebutuhan perusahaan. Meski
ada banyak pelamar dari sisi kuantitas, menemukan kandidat yang memiliki
keterampilan dan pengalaman sesuai dengan kebutuhan spesifik semakin
menjadi tantangan besar bagi perekrut di tengah situasi ekonomi yang
sedang terpuruk.
Menurunnya Kualitas Kandidat yang Melamar
Masih
dalam unggahannya, Dearisa juga menyampaikan, “Kalau bicara kuantitas
sih pasti ada, banyak malah, tidak usah ditanya. Tapi dari segi
kualitas, sulit mencari yang pas. Padahal requirements tidak jauh
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.” Ini menunjukkan bahwa banyak
perusahaan kini mendapati kandidat yang melamar tidak memenuhi
kualifikasi dasar, meskipun persyaratan yang ditentukan tidak jauh
berbeda dari sebelumnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, kandidat yang
mendekati 70-80% kualifikasi saja sulit ditemukan, sehingga posisi yang
terbuka tidak dapat segera diisi.
Masalah ini memunculkan
pertanyaan mengenai pergeseran tren di kalangan tenaga kerja yang
kompeten. Dalam tulisannya, Dearisa menegaskan, “Tentunya saya sangat
paham bahwa tidak ada kandidat yang sempurna, tapi jangankan mencari
yang sempurna, yang mendekati 70-80% kualifikasi pun sulit
sekarang-sekarang ini.” Ketiadaan kandidat dengan kemampuan yang memadai
ini bisa saja menjadi dampak dari penurunan kompetensi di pasar kerja,
atau kemungkinan bahwa banyak tenaga kerja terampil yang kini beralih ke
sektor informal atau bahkan ke pekerjaan mandiri.
Tingginya Biaya Rekrutmen di Tengah Keterbatasan Anggaran
Di
samping kesulitan menemukan kandidat yang sesuai, Dearisa juga
menyoroti peningkatan biaya rekrutmen yang turut menjadi beban bagi
perusahaan. “Cost rekrutmen makin naik, job portal mahal dan belum tentu
dapat semua fitur, psikotes mahal, biaya training mahal. Semua orang
sedang tercekik.” Dalam situasi ini, biaya yang dikeluarkan untuk
rekrutmen, mulai dari penggunaan portal pekerjaan hingga psikotes, terus
meningkat. Biaya-biaya ini cukup memberatkan perusahaan, terutama
ketika hasil yang diperoleh dari proses rekrutmen belum memenuhi
harapan.
Beban biaya ini diperparah oleh fakta bahwa pelatihan
dan pengembangan karyawan yang telah direkrut juga membutuhkan biaya
tambahan. Sementara perusahaan-perusahaan berusaha mempertahankan
anggaran mereka, kebutuhan akan pelatihan tetap tak bisa diabaikan demi
meningkatkan kompetensi karyawan. Dearisa menutup dengan pertanyaan yang
merefleksikan keprihatinan banyak profesional di bidang rekrutmen saat
ini, “Kemanakah perginya talent-talent berbakat yang dulu relatif mudah
didapatkan itu? Apakah semuanya pada pindah ke sektor informal?”
Fenomena Pergeseran Tenaga Kerja ke Sektor Informal
Pertanyaan
Dearisa memunculkan dugaan bahwa sebagian tenaga kerja terampil kini
mungkin beralih ke sektor informal atau berusaha menciptakan lapangan
kerja mandiri, khususnya dalam situasi ekonomi yang tidak pasti. Dengan
adanya digitalisasi dan fleksibilitas di sektor informal, seperti
bekerja sebagai freelancer atau berwirausaha, banyak tenaga kerja
mungkin merasa lebih mudah mencari peluang di luar jalur kerja
konvensional. Kondisi ini membuat perusahaan semakin sulit mendapatkan
kandidat yang cocok dengan kualifikasi yang dibutuhkan, sekaligus
menjadi tantangan bagi HR untuk melakukan inovasi dalam proses rekrutmen
mereka.
Respons HR di Tengah Tantangan Rekrutmen
Fenomena
yang diungkapkan oleh Dearisa Heditama ini mengundang respons dari para
profesional di bidang HR yang mengalami tantangan serupa dalam mencari
kandidat berkualitas di tahun 2024. Beberapa praktisi HR menyarankan
pentingnya memperluas pendekatan rekrutmen, seperti mengutamakan
pelatihan internal dan memperluas penilaian keterampilan yang lebih
fleksibel, untuk mengatasi kesulitan mendapatkan kandidat yang sesuai
dengan standar perusahaan.
Dalam situasi ini, kolaborasi antara
divisi rekrutmen dan divisi pengembangan talenta sangat diperlukan guna
menciptakan program rekrutmen yang efisien serta membekali karyawan baru
dengan pelatihan yang relevan. Adapun peningkatan kompetensi tenaga
kerja melalui pelatihan dan pengembangan yang terstruktur diharapkan
mampu menjawab tantangan kebutuhan SDM berkualitas di tengah krisis
ekonomi yang melanda banyak sektor industri.
Sumber: Dearisa Heditama | Talent Acquisition Officer
Editor: Hendra, S
Posting Komentar untuk "Tantangan Rekrutmen Di tengah Maraknya PHK; Sulit Mencari Kandidat Berkualtas"